Kamis, 26 Januari 2012

PARA PENCARI TUHAN YANG FRUSTASI

Oleh: Yasri Azmi, S. Th.I
(Mahasiswa Pascasajana IAIN Padang)

Merebaknya akun face book mengatas namakan group berpaham atheism di dunia maya seolah menjadi mimpi buruk yang kian keresahkan umat beragama khususnya muslim. Untuk itu perlu juga kiranya kasus ini disikapi dan diselesaikan dengan kepala dingin dalam nuansa ilmiah.
Atheis yang dimaksud adalah suatu paham yang mengigkari adanya tuhan.  “Tuhan yang berhak disembah sebagai satu kekuatan yang obsolut” menurut mereka sangat tidak logis untuk digambarkan apalagi dibuktikan keberadaannya. Seorang penganut atheis akan tidak segan-segan menabur fitnah bahwa kajian-kajian ilmiah keagamaan merupakan dongeng yang ditaburi kata-kata sok ilmiah.

Maka memang biasanya tokoh-tokoh penganut atheis adalah termasuk orang-orang cerdas. Namun  sesungguhnya ia tengah mengalami kegelisahan inteketual dan spiritual sehingga kemudian melahirkan “kecerdasan”. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan sebagai ekspresi dari pengingkaran  mereka terhadap keberadaan tuhan dan hal-hal yang bersifat supranatural seperti malaikat, syeitan, jin, sorga-neraka sebetulnya  hanya menunggu jawaban-jawaban yang logis dan rasional, karena para pengemban agama selama ini hanya berkutat sekitar masalah-masalah kegamaan yang bersifat formalistic. “Memakai sorban” sangat menjadi symbol dan ukuran apakah seseorang itu sudah Sholeh atau belum. Tanpa kita lebih banyak mengkaji dan berbicara tentang nilai-nilai kesholehan itu sendiri. Karya social yang ternyata juga merupakan definisi dari ‘amal sholeh yang nyaris terlupakan.
Penganut paham atheis sesungguhnya adalah para pencari tuhan yang mengalami keletihan. Karena manusia hanya mampu meraba, melihat, mendengar dan merasa dengan anggota indranya. Hal-hal yang supranatural seperti malaikat, syeitan, jin, sorga-neraka apalagi zat yang “Maha Tinggi” atau apa yang disebut dengan Tuhan membuat mereka harus menghabiskan tidak sedikit energi untuk berfikir dan mencari data ilmiah, sehingga pertanyaan-pertanyaan tentang itu dapat terjawab.
Saat diutusnya para Nabi dan Rasul adalah masa-masa dimana Tuhan menyampaikan informasi tentang kekuasaannya secara kongkrit, itu artinya bahwa Tuhan tengah menjawab keragu-raguan manusia tentang wujud-Nya. Hal itu ditunjukkan melalui kejadian luar biasa yang diberikan pada para utusan-Nya seperti Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api, Musa as. yang dapat membelah air laut dengan tongkatnya, Nabi Isa as yang bisa menyembuhkan orang buta dan seterusnya.
Dalam pemahaman Islam,  setelah diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir maka diberikanlah al-Qur’an yang sekaligus menjadi mu’jizat kerasulannya. Secara explisis dan implisit al-Qur’anpun hampir-hampir tidak menerangkan dan berbicara tentang wujud atau keberadaan Tuhan. Hanya saja dalam surat al-Ikhlas dan di beberapa ayat lain menerangkan tentang ke-esaan ketuhanna-Nya. Hal itu disebabkan karena keberadaan tuhan itu sudah cukup jelas, oleh karena saking jelasnya maka tidak perlunya lagi tuhan menerangkan dan menunjukkan keberadaanNya. Sebuah roman Hayy ibnu Yaqzhan yang dikisahkan oleh filosof muslim Ibnu Thufail disimpulkan betapa seorang yang tidak pernah disentuh informasi tentang ketuhanan telah sampai kepada “Tuhannya” hanya tahapan-tahapan perjalanan spiritual yang ia tempuh selama dibesarkan di dalam hutan.
Adapun kasus pengingkaran oknum manusia terhadap keberadaan tuhan itu adalah peristiwa klasik dan akan selalu ada sampai dunia ini berakhir. Namun yang perlu kita pahami bahwa sesungguhnya pengingkaran tersebut hanya bersifat sementara dan tidak permanen. Fitrah bertuhan yang ada pada manusia tidak mungkin akan dikalahkan oleh kekuatan akal atau keinginan nafsu sasaat.
Ada beberapa penyebab kenapa manusia sampai ke sebuah kesimpulan untuk tidak percaya akan keberadaan Tuhan (Atheis). Sikap frustasi dalam judul diatas hanya salah satu dari indicator tersebut. Adam Deen, seorang aktivis intelektual yang telah bekerja di bidang apologetik Muslim di Inggris mengatakan bahwa "Atheisme adalah seperti binatang terluka, yang berusaha keras untuk bertahan hidup". Tetapi indicator lain yang sebenarnya telah terjadi adalah sebuah kesombongan yang ditunjukkan dengan sikap pengingkaran.
Kisah Fir’aun di dalam al-Qur’an sudah cukup mengingatkan betapa kesombongan dan keingkarannya telah melahirkan kleim terhadap dirinya sebagai Tuhan. Namun pada akhirnya ia juga harus mengakui bahwa memang tidak mungkin tidak ada kekuatan yang maha obsolut itu, pada akhir nafasnya sebelum tenggelam terucaplah dari  mulutnya sebuah pengakuan “tiada tuhan selain Allah”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang menjadi  atheis bukan karena kebodohan, kemalasan atau karena ia telah frustasi dalam usaha membuktikan wujud tuhan tapi lebih dominan hal tersebut disebabkan karena kesombongan dan pengingkaran.
Ketika da’wah untuk mengimani wujud Allah itu telah disampaikan kepada mereka maka tidak ada kewajiban lagi untuk mengajak secara paksa. Karena akan sama saja bagi mereka apakah akan diberi peringatan atau tidak diberi peringatan. Sungguh hati mekeka telah tertutup. Wallahu’alam bisshawab… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar