Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saya teringat dengan sebuah cerita dari Pak Bambang Pranowo, ketika beliau melakukan kunjungan kerja ke Madura pada tahun 2008. Pada saat makan siang bersama para warga, pak Bambang yang merupakan koordinator staf ahli dari salah satu menteri di Kabinet Indonesia Bersatu menanyakan kepada salah seorang pemuka masyarakat di sana. Pak Bambang “kira-kira jumlah umat Islam di Madura ini berapa persen pak?”, bapak tadi menjawab “90 persen pak”. Pak Bambang heran, karena informasi yang dia dapat langsung dari warga berbeda dengan data yang tertulis di atas kertas, dengan heran pak Bambang balik menanyakan kepada pemuka masyarakat tersebut, “tapi pak… menurut data yang kami terima, jumlah penduduk yang beragama Islam di sini 98 persen pak”, sang pemuka masyarakat dengan enteng menjawab, “iya pak… soalnya yang 2 persen Kristen, dan yang 8 persen lagi Muhammadiyah” hehehe…
Ketika membaca sedikit pengalaman kerja Pak Bambang Pranowo di atas, ada banyak hal yang kita dapat dari cerita tersebut, khususnya tentang pemahaman kita terhadap agama (Islam) selama ini. Kejadian ini memperkuat pendapat para sosiolog bahwa keberagaman seseorang tidak bisa dilepaskan dari tiga faktor penting: faktor historis, kultural, dan struktural.
Faktor historis (sejarah masa lalu) seseorang sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap agama. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, Nurcholis Majid dan Amin Rais, adalah contoh yang sangat nyata. Dua orang yang sama-sama memiliki kecerdasan intelektual, kreatif dan critis thingking, serta pemikiran yang berorientasi kepada problem solving. Mereka sama-sama didikan Barat, dan sama-sama kader HMI, akan tetapi, banyaknya kesamaan itu tidak membuat out put mereka sama. Kita bisa menilai kalau Nurcholis lebih menekankan kepada sekularisasi, dan Amin Rais dengan Muhammadiyahnya mengkampanyekan tentang sakralisasi. Dua hal yang saling berlawanan yang digaungkan oleh dua sosok pemikir, yang memiliki guru yang sama. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari ikut campurnya historis kehidupan kedua tokoh ini dalam pemikiran mereka. Ya, sebagai seseorang yang dilahirkan di pedesaan, yang akrab dengan suasana fanatisme dan doktrin kyai (bahkan, seorang dokter yang ingin memberikan imunisasi di pedesaan harus mendapatkan izin dari kyai dulu) sehingga mayarakat menganggap kalau kyai itu lebih pintar dari pada dokter dalam urusan penyembuhan. Suasana dan pengalaman masa remajanya inilah “mungkin” membawa Nurcholis memusuhi doktrin dan mengkampanyekan tentang sekulerisasi. Hal ini juga diperkuat dengan pendapatnya tentang definisi dari sekularisasi itu sendiri yang secara substansi berbeda dengan yang lain. Nurcholis mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses pemisahan antara ajaran-ajaran agama yang bernilai transendental, dengan ajaran-ajaran yang bersifat ijtihadi. Walaupun idenya tentang sekularisasi itu mendapat kritikan dari kaum tua seperti Buya Hamka. Akan tetapi, sulit rasanya kita memisahkan ide cak Nur ini dengan sejarah kehidupannya.
Faktor historis (sejarah masa lalu) seseorang sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap agama. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, Nurcholis Majid dan Amin Rais, adalah contoh yang sangat nyata. Dua orang yang sama-sama memiliki kecerdasan intelektual, kreatif dan critis thingking, serta pemikiran yang berorientasi kepada problem solving. Mereka sama-sama didikan Barat, dan sama-sama kader HMI, akan tetapi, banyaknya kesamaan itu tidak membuat out put mereka sama. Kita bisa menilai kalau Nurcholis lebih menekankan kepada sekularisasi, dan Amin Rais dengan Muhammadiyahnya mengkampanyekan tentang sakralisasi. Dua hal yang saling berlawanan yang digaungkan oleh dua sosok pemikir, yang memiliki guru yang sama. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari ikut campurnya historis kehidupan kedua tokoh ini dalam pemikiran mereka. Ya, sebagai seseorang yang dilahirkan di pedesaan, yang akrab dengan suasana fanatisme dan doktrin kyai (bahkan, seorang dokter yang ingin memberikan imunisasi di pedesaan harus mendapatkan izin dari kyai dulu) sehingga mayarakat menganggap kalau kyai itu lebih pintar dari pada dokter dalam urusan penyembuhan. Suasana dan pengalaman masa remajanya inilah “mungkin” membawa Nurcholis memusuhi doktrin dan mengkampanyekan tentang sekulerisasi. Hal ini juga diperkuat dengan pendapatnya tentang definisi dari sekularisasi itu sendiri yang secara substansi berbeda dengan yang lain. Nurcholis mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses pemisahan antara ajaran-ajaran agama yang bernilai transendental, dengan ajaran-ajaran yang bersifat ijtihadi. Walaupun idenya tentang sekularisasi itu mendapat kritikan dari kaum tua seperti Buya Hamka. Akan tetapi, sulit rasanya kita memisahkan ide cak Nur ini dengan sejarah kehidupannya.
Berbeda dengan cak Nur, Amin Rais yang pada waktu kecil hidup di keluarga dan lingkungan masyarakat modern Jogjakarta, melihat ada hal yang negative dari kemodernan, yaitu spritualitas dan moralitas yang terkikis. Sehingga, pada akhirnya sakralisasi yang dia kampanyekan sekarang ini “mungkin” merupakan dampak dari pengalaman hidupnya ketika remaja.
Selain faktor historis, faktor budaya dan struktural juga sangat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap agama. Jawaban pemuka masyarakat Madura terhadap pertanyaan pak Bambang Pranowo di atas merupakan contoh yang sangat kongkrit, bagaimana budaya Jawa yang kental dan fanatik terhadap NU, mampu menciptakan opini di dalam masyarakatnya bahwa Islam itu adalah NU dan NU adalah Islam, sehingga seluruh golongan (apapun bentuknya) yang tidak sejalan dengan pemahaman dan tradisi NU, bukanlah penganut Islam. Pemikiran seperti ini bisa berujung kepada perpecahan di dalam tubuh umat Islam dan bukan tidak mungkin akan berakhir dengan pertumpahan darah, na’uzubillah.
Kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebenarnya perbedaan sudut pandang kita terhadap agama adalah sesuatu yang wajar, karena masing-masing kita memiliki historis, cultural, dan structural yang berbeda. Tidak sedikit perpecahan yang terjadi dalam tubuh umat ini karena adanya segelintir orang yang tampil ke depan, berbicara atas nama Tuhan (speaking by God) dan mengutip ayat-ayat Tuhan yang justru membuat masyarakat jauh dari Tuhan. Dalam keadaan umat Islam yang “kalah” dan “terpuruk” di abad 21 ini, tidak seharusnya kita berpecah dan saling menghakimi cara beragama orang lain dari sudut pandang kita yang juga “belum tentu” benar.
Di akhir tulisan ringkas ini, saya teringat dengan perkataan Muhammad Natsir dalam bukunya Capita Selecta, “umat Islam terperuk… dan keterpurukannya ini diperparah dengan kehilangan rasa prioritas yang ada dalam tubuh umat ini”. Pernyataan Natsir itu seakan terlintas lagi di benak saya, melihat kehidupan umat sekarang yang saling menyalahkan, saling tuding, saling menyalahkan cara pandang, dan menafikan musuh bersama umat berupa kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan dan moral. Perbedaan adalah hal biasa yang di lahirkan dari historis, budaya, dan srtuktural yang berbeda. Perbedaan bukan memecah umat, justru memperkuat umat apabila perbedaan itu diiringi dengan ilmu dan sikap objektif dan sopan. Thomas Khun pernah berucap, “kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang diambil dari pertukaran ide. Makin banyak ide-ide yang masuk dalam proses pencarian kebenaran, makin mapan kebearan tersebut” wallahu a’lam bi as-sawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar