Kamis, 02 Februari 2012

CERDAS BERAGAMA


Oleh: Dr. Akhyar Hanif, M. Ag 
(Direktur Pascasarjana STAIN Batusangkar)
Fakta yang terlihat di hampir sebagian besar umat Islam Indonesia adalah bahwa sikap keberagamaan mereka masih bersifat heredity (keturunan). That because our mom and dad are Moslem we are Moslems (karna bapak dan Ibu kita muslim maka kitapun jadi ikut muslim). Meski belum ada penelitian yang menjelaskan mengenai hal ini, akan tetapi statemen di atas, dalam batas-batas tertentu, memang tak terbantahkan.

 
Di dalam seminar-seminar dan diskusi-diskusi yang berkembang di kalangan para intelektual muslim akhir-akhir ini mencuat bahwa corak Islam yang lebih banyak menonjol di kalangan masyarakat Indonesia adalah corak Islam fikih. Belakangan, meski baru hanya berkembang di kalangan masyarakat kota, juga muncul fenomena baru yang menggambarkan kecenderungan kepada Islam sufistik yang bernuasa esoterik.
Oleh karna itu, fenomena yang menarik untuk diamati, terutama akhir-akhir ini, ialah menguatnya kecenderungan masyarakat modem untuk mendalami ajaran Agama Islam. Mendalami agama di sini tentu tidak saja diartikan dengan berbagai usaha yang mereka lakukan untuk pengisian ruang kognitif (rasio) mereka tetapi juga harus diartikan sebagai penyiraman terhadap kekeringan ruang affektif (rasa). Kecenderungan tersebut dapat disaksikan dari tingginya intensitas keberagamaan masyarakat kota (civil society).
Banyak yang dapat dijadikan tolak ukur untuk membuktikan hal tersebut ; misalnya ; bertambahnya jumlah jama'ah haji dari tahun ke tahun, maraknya buku-buku yang berkualitas dan berwawasan keislamanan yang terbit dan dijual babas di pasaran, diskusi-diskusi ilmiah, bertaraf regional, nasional bahkan internasional yang membedah tentang fenomena Islam di abad modern, ramainya pengajian-pengajian keagamaan yang diliput dan dipertontonkan oleh media-media elektronik, sampai kepada pengajian-pengajian yang diadakan di tempat-tempat yang sederhana atau di tempat-tempat yang berfasilitas mewah dan lain sebagainya. Memang, gejala-gejala tersebut sepintas Ialu, bisa saja disebut sebagai hal-hal yang sangat formatistik dan belum dapat sepenuhnya menggambarkan substansi. Akan tetap tidak dapat dipungkiri bahwa formalistas tentu tidak terlalu salah dan dapat saja dijadikan sebagai acuan untuk melihat sebuah kecenderungan.
Tak dapat disangkal bahwa masyarakat kota memang memiliki tingkat mobilitas yang cukup tioggi. Karena tantangan yang dihadapi cukup berat dan persoalan yang muncul sangatlah kompleks, sehingga aroma kehidupan penuh dengan persaingan dan kompetisi. Mereka yang kurang cepat akan tergilas dan tertinggal di belakang.
Oleh karena itu, setiap hari kita saksikan bagaimana masyarakat kota sibuk dan disibukkan oleh berbagai macam pekerjaan yang semuanya hampir berorientasi kepada pemenuhan akan kebutahan materil. Keadaan seperti itu tak jarang menyeret mereka ke dalam bentuk rutinitas-rutinitas yang menjemukan, dan pada gilirannya akan mendatangkan kemandekan (stagnasi) dan kejenuhan. Kemandekan dan kejenuhan dapat berimplikasi kepada krisis kedangkalan moral dan rohani (spritualitas). Dengan demikian timbullah penyakit-Penyakit rahani dan kejiwaaan seperti kejenuhan, alienasi, depresi dan perasaan-perasaan yang kosong  dan hampa di tengah keramaian.       
Apabila penyakit-penyakit rohani dan kejiwaan itu muncul tanpa kendali maka tak jarang akan menjebak­ seseorang kepada situssi-situasi kejiwaan yang runit dan kompleks, misalnya kehilangan keseimbangan hidup, merasa hidbpnya tak bermakna, sering dihantui perasaan yang tak menentu dan seterusnya. Kalau ini berlanjut tanpa proteksi maka kampensasinya bisa saja menjurus kepada hal-hal yang negative dan merusak seperti meminum obat-obat penenang, narkoba, atau mencari saadaran-sandaran hidup yang boleh jadi barupa hal-hal yang terlarang oleh ajaran agama. Hal itu akan bertambah parah apabila dibarengi dengan kedangkalan pengetahuan keagamaan dan tipisnya rasa kesadaran bertuhan (iman dan taqvva) di dalam dada.
Pesan Bagi Para Pendidik
Menjawab persoalan-persoalan seperti tersebut di atas tentu tidaklah gampang. Oleh karena itu, bagi bagi para pendidik, dalam hal ini tentunya guru, dosen, atau bahkan ulama yang hendak menyampaikan pesan-pesan keagamaan di tengah-­tengah masyarakat seperti ini, hendaklah selalu diingat bahwa, boieh jadi, pesan-pesan tersebut tidak akan efektif dan jauh dari sasaran apabila dikemas dan disajikan hanya dalam bentuk-bentuk ajaran yang bersifat normatif, kaku, cenderung menghakimi dan seterusnya,:yang kesemuanya hanya bersifat eksoteris belaka, karena ajaran-ajaran yang bersifat eksoterik seperti itu hanya akan mendatangkan kejemuan dan kejenuhan. Kedua, barangkah tidak-berlebiban kalau dikatakan bahwa yang mereka butuhkan adalah pesan-­pesan moral keagamaan yang dapat menyentuh rasio dan sekaligus rasa.
Oleh karena itu, guru, dosen atau da’i sebagai pendidik bangsa, pengayom sekaligus perekat dituntut  tidak saja mempunyai sikap-mental yang membaja dalam menyampaikan pesan-pesan agama akan tetapi juga harus memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang dalam terhadap ajaran agama, sehingga pesan-pesan keagamaan yang disampaikan relevan bagi kebutuhan manusia modern, mengobati keresahan dan kegelisahan rasio dan menyejukkan rasa (spritual).
Karena, bukankah agama diciptakan Tuhan sebagai jalan menuju kebahagian ummat manusia lahir dan batin? Kalau agama mendatangkan kesusahan dan kesengsaraan bagi manusia maka itu pasti bukanlah agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar